Untuk Apa Aku Menulis?
Aku menulis untuk diriku.
Terlepas dari kata yang tercekat, buku yang membeku dengan tiap kata yang mulai berdebu. Anganku terlepas, melambung melampaui dialektika yang enggan masuk dalam tiap kata.
Akankah ini berakhir sederhana?
Pikiranku diam, tanganku berbekas; bekas keheningan dengan waktu yang berdiam. Sejak kapan aku mulai menulis?
Mungkin ini berawal dari Bengawan Solo yang mengalir deras, mengapungkan sampan dengan cerita; atau berawal dari air mata hafalan perkalian waktu kecil yang enggan masuk dalam kepala.
Aku menulis untuk diriku! Aku berharap semua kalimat tanpa struktur menggambarkan bentuk abstrak tanpa kedalaman makna. Berawal dari mata dan dirasa pada tiap frasa. Ah, anganku mengembara!
Jadi, untuk siapa aku menulis?
Hati kecilku mengingat banyak orang, aforisme mengembang menilai kebenaran. Ingatan dahulu tertelan bersama pusaran Bengawan Solo menyingkirkan rasa sakit —menenggelamkan ingatan dan rasa yang ditangisi. Rasanya, aku tidak bisa mendeskripsikan fakta dalam cerita. Seperti tersekat; dilampiaskan oleh air mata yang turun tanpa aba-aba dan lidah yang bergetar menahan.
Potongan ingatan masuk saat aku menulis, menghadang bayangan tulisan dan membawa pergi pikiran melayang. Seutas air mata dalam kegelapan terlihat, secarik senyum dalam cahaya tenggelam. Decitan rel terdengar, suara kereta melintas, memotong angan yang kembali —ambruk bersama palang pintu merah putih dengan suara kering malam hari.
Jadi, untuk siapa tiap tulisan itu? Mungkin —seperti perantauan. Hinggap pada tiap tempat menyongsong dongeng menggema dalam diri. Bermuara dari Bengawan Solo dengan bekas Mataram-nya, singgah di Petilasan Angling Darma dan berlanjut pada kekuasan Brawijaya. Mengumpulkan tiap kata dengan harapan rangkaian indah pada akhir cerita; terus berlanjut mengumpulkan kepingan dari Mataram hingga Majapahit sana.
Aku menulis untuk tiap tempat.
